Orasi ilmiah Yudisium ke-93

Ilmu pengetahuan adalah cahaya yang menerangi langkah peradaban manusia. Sepanjang sejarah, tidak ada satu pun peradaban besar yang lahir tanpa fondasi ilmu. Yunani Kuno dengan filsufnya, peradaban Islam klasik dengan ilmuwannya, dan Barat modern dengan revolusi teknologinya, semua menjadikan ilmu sebagai sumbu kemajuan. Namun dalam gegap gempita kemajuan ilmu pengetahuan dewasa ini, kita perlu bertanya kembali: apakah ilmu itu benar-benar menerangi seluruh ruang kehidupan? Ataukah cahaya itu hanya berpancar di ruang seminar, jurnal ilmiah, dan laboratorium, tanpa pernah menyentuh lorong-lorong gelap realitas sosial masyarakat kita?
Di tengah derasnya arus digitalisasi, industri 5.0, dan kompetisi akademik global, marilah kita sesaat menundukkan kepala dan menengok keluar jendela kampus. Di sana, di persimpangan jalan, di kolong jembatan, dan di trotoar depan pusat perbelanjaan, ada sekelompok anak-anak yang tidak mendapatkan hak dasarnya sebagai manusia, apalagi sebagai pelajar. Mereka bukan anak-anak biasa. Mereka adalah anak jalanan—anak-anak yang hari-harinya bukan di ruang kelas, melainkan di aspal jalanan kota. Mereka bukan sedang sibuk mengerjakan tugas, melainkan berusaha bertahan hidup dengan mengamen, menjual tisu, mengemis, atau bahkan hanya duduk tanpa harapan. Sering kali, kita hanya melihat mereka sekilas—mungkin dengan pandangan iba, mungkin juga dengan risih. Tapi sesungguhnya, mereka adalah cermin dari kegagalan kita sebagai bangsa dalam membagikan terang ilmu secara adil.
Penelitian yang sempat saya dan tim lakukan mengungkapkan kondisi yang mengguncang nurani: puluhan bahkan ratusan anak hidup di jalanan Kota Palembang. Mereka tersebar di titik-titik keramaian seperti Simpang Polda, Simpang Sekip, Charitas, Fatal, hingga kawasan 26 Ilir. Anak-anak ini bukan hanya angka dalam statistik. Mereka adalah narasi hidup, kisah nyata tentang kerapuhan sistem sosial yang seharusnya menopang pertumbuhan dan perkembangan seorang anak.
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan teoritis: Teori Organic System Talcott Parsons dan Perspektif Utilitarianisme. Dalam kerangka Parsons, masyarakat adalah sistem organik yang terdiri atas subsistem—keluarga, pendidikan, ekonomi, dan hukum—yang semuanya harus berfungsi harmonis agar masyarakat tetap seimbang. Namun, pada kenyataannya, anak-anak ini lahir dari keluarga yang gagal menjalankan fungsinya. Keluarga yang hancur karena kemiskinan, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, atau pengabaian. Akibatnya, anak-anak ini terdorong ke luar sistem, terlempar ke pinggiran sosial, dan menjadikan jalanan sebagai tempat perlindungan alternatif.
Lebih menyayat lagi adalah temuan dari perspektif utilitarianisme, bahwa banyak anak-anak jalanan secara sadar memilih untuk hidup di jalan karena mereka merasa bebas, mandiri, dan tidak tertekan. Di jalanan, mereka bisa memperoleh uang sendiri, menentukan waktu sendiri, dan bersosialisasi dengan sesama anak jalanan yang mereka anggap sebagai keluarga kedua. Ini bukan sekadar bentuk keterpaksaan, melainkan bentuk dari pilihan rasional yang diambil dalam keterbatasan. Dalam wawancara lapangan, salah satu anak jalanan berkata: “Kalau di rumah, saya cuma dimarahin terus. Di jalan, saya bisa cari uang, bisa ketemu teman, nggak takut dimaki.” Pernyataan ini menampar nurani kita. Bahwa rumah, yang seharusnya menjadi tempat aman dan penuh cinta, justru menjadi tempat yang ditinggalkan karena menyakitkan.
Fenomena ini mengajarkan pada kita bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, sehebat apa pun, akan gagal jika tidak berakar pada realitas. Ilmu bukan sekadar soal abstraksi dan teori. Ilmu adalah alat transformasi, penyambung nilai dan harapan, dan penyalur keadilan sosial. Maka menjadi pertanyaan mendesak bagi kita sebagai civitas akademika: untuk siapa ilmu yang kita ajarkan dan teliti selama ini? Apakah hasil-hasil penelitian kita pernah menyentuh kehidupan anak-anak seperti mereka?
Perguruan tinggi bukan hanya tempat memburu gelar, tetapi tempat membentuk peradaban. Kampus bukan menara gading yang tinggi dan sunyi dari realita, tetapi rumah besar tempat berpikir, bertindak, dan merangkul yang terpinggirkan. Jika pendidikan tinggi gagal hadir untuk mereka yang paling lemah, maka untuk apa kita bangga dengan akreditasi unggul dan publikasi internasional?
Kepada para wisudawan dan wisudawati hari ini, saya ingin menyampaikan dengan penuh harapan: belajarlah bukan sekadar untuk nilai tinggi, tetapi untuk menjadi manusia yang tinggi nilainya. Gelar sarjana adalah janji kepada masyarakat, bahwa kalian siap menjadi agen perubahan sosial. Jangan hanya pandai menyusun proposal skripsi atau presentasi PowerPoint. Jadilah pemuda yang peka terhadap kehidupan sosial, yang bersedia turun ke jalan untuk mendengar, menyapa, dan merangkul mereka yang tak bersuara. Buatlah gerakan kecil—mungkin berupa kelas belajar sore di pinggir jalan, penggalangan dana untuk makanan sehat, atau bahkan hanya duduk bersama mereka untuk mendengar cerita. Karena sesungguhnya, empati adalah bagian penting dari kecerdasan.
Kepada para dosen dan peneliti, izinkan saya mengajak kita semua untuk melakukan refleksi. Sudahkah kita mengintegrasikan realitas sosial dalam pembelajaran? Sudahkah kita membawa mahasiswa ke lapangan, bukan hanya ke laboratorium dalam ruangan? Sudahkah pengabdian masyarakat kita menyentuh yang benar-benar membutuhkan, atau hanya sekadar laporan administratif tahunan?
Kita terlalu sering membahas filsafat ilmu, tapi lupa bahwa filsafat yang tidak membela kemanusiaan adalah teori kosong. Kita terlalu banyak mengejar Scopus dan Sinta, tapi mungkin lupa bahwa di depan gerbang kampus, ada anak kecil yang menatap ke dalam pagar tanpa tahu apa itu “pendidikan tinggi”. Mari jadikan ilmu bukan hanya sebagai alat peningkat karier, tapi juga alat untuk membebaskan, menyembuhkan, dan memberdayakan.
Ilmu pengetahuan yang sejati adalah ilmu yang berpihak pada kehidupan. Ia tidak hanya mengukur efisiensi, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai kasih sayang dan keadilan. Ilmu yang hanya digunakan untuk memperkuat status adalah ilmu yang kehilangan roh. Maka, inilah saatnya kita menyalakan lentera ilmu untuk menyinari jalan mereka yang selama ini berjalan dalam gelap—anak-anak yang tak punya nama dalam buku pelajaran, tapi punya harapan yang sama: untuk diakui, dicintai, dan diberdayakan.
Akhirnya, saya ingin menutup orasi ini dengan sebuah ajakan moral. Mari kita ubah paradigma bahwa pendidikan tinggi adalah ruang eksklusif untuk yang mampu, menjadi rumah inklusif untuk semua yang mau. Mari kita arahkan kembali energi intelektual kita untuk menyentuh realita-realita sosial, bukan menjauhinya. Mari kita jadikan setiap ilmu yang kita pelajari, ajarkan, dan teliti sebagai cahaya yang mengalir ke seluruh lapisan masyarakat—termasuk mereka yang berada di lorong-lorong jalanan, yang hanya berharap ada sedikit keadilan dari dunia yang telah lama menutup mata.
Ilmu pengetahuan tidak hanya ditentukan oleh seberapa rumit rumus yang kita kuasai, tetapi seberapa dalam cinta kita pada kehidupan.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Terima kasih.