Orasi Ilmiah
Oleh: DR. YULI FITRIANTI, M.PD.
Dosen Prodi Matematika FITK
Naskah Orasi Ilmiah pada Yudisium Ke-82 FITK UIN Raden Fatah Palembang
Tanggal 21 September 2022
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ اْلإِيْمَانِ وَاْلإِسْلاَمِ. وَنُصَلِّيْ وَنُسَلِّمُ عَلَى خَيْرِ اْلأَنَامِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ
رَبِّ اشْـَرحْ لِي صَـدْرِيْ وَيَسِّرْلِي أَمْـِريْ وَاحْلُلْ عُقْـدَةً مِنْ لِسَـانِي يَفْقَـهُ قَـوْلِي
Yth Rektor UIN Raden Fatah Palembang yg pada kesempatan ini diwakili oleh wakil rektor 1, Bapak Dr. M. Adil, M.A.
Yg saya hormati Dekan FITK, Bpk Prof. Dr. Abdullah, M. Idi, M.Ed., beserta wakil dekan 1,2 dan 3
Yg saya hormati Kabag dan para kasubag di lingkungan FITK
Yg saya hormati Rekan-rekan Kaprodi dan sekprodi di lingkungan FITK
Yg saya hormati Ketua Ikatan Alumni FITK, Bpk. Dr. Syaiful Annur, M.Pd.
Yg saya hormati para tamu undangan yang sudah menyempatkan diri untuk menghadiri acara yudisium ini
Yg saya banggakan dan yang berbahagia para alumni FITK yang baru saja dilantik menjadi sarjana atau magister
Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah mempertemukan kita semua di kesempatan yang sangat membahagiakan ini.
Syalawat dan salam semoga terus tercurahkan kepada manusia agung Rasulullah saw, para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman. Semoga kita semua mendapatkan safaat di yaumil akhir nanti. Aamiin yaa robbal alamin
Rektor, Dekan dan hadirin yang berbahagia
Izinkan saya terlebih dahulu menyampaikan ucapan terima kasih kepada bapak dekan yang telah memberikan saya kesempatan untuk menyampaikan Orasi Ilmiah ini.
Orasi ilmiah kali ini merupakan bagian dari karya tulis ilmiah yang menghantarkan saya mencapai gelar Doktor Pendidikan Matematika di Universitas Pendidikan Indonesia. Orasi ilmiah ini saya beri judul:
MENGEMBANGKAN PENGETAHUAN PROFESIONAL GURU
DI ERA SOCIETY 5.0:
Analisis terhadap Struktur dan Alur Pengetahuan untuk Pembelajaran
Pendahuluan
Society 5.0 adalah konsep masyarakat yang berpusat pada manusia dan berbasis teknologi. Konsep tersebut mendefinisikan bahwa teknologi dan manusia akan hidup berdampingan dalam rangka meningkatkan kualitas taraf hidup manusia secara berkelanjutan. Hal ini bermakna bahwa, era society 5.0 menempatkan manusia sebagai komponen utama. Dalam konteks society 5.0, setiap individu harus memiliki 4 keterampilan utama yaitu creativity, critical thinking, communication, and collaboration.
Dunia pendidikan dipandang sebagai sektor strategis dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia agar siap menghadapi tantangan di masyarakat, termasuk tantangan dalam era society 5.0. Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia menjelaskan ada 4 kompetensi wajib dalam pembelajaran, yaitu knowlwdge, skill, attitude dan value (Novrizaldi, 2021). Knowlwdge and skill berhubungan dengan kompetensi siswa yang didapatkan melalui pembelajaran. Sedangkan, attitude and value berhubungan dengan pembentukan karakter siswa yang didapatkan melalui konteks pembelajaran yang dipilih guru dan prilaku yang dicontohkan guru sehari-hari. Dengan demikian, guru sebagai ujung tombak yang melaksanakan proses pembelajaran harus dapat memanfaatkan teknologi dengan cara mengintegrasikannya dalam proses pembelajaran. Untuk mewujudkannya, seorang guru perlu memiliki technological knowladge, content knowladge, pedagogical knowladge, dan karakter.
Integrasi antara technological knowladge, content knowladge, dan pedagogical knowladge melahirkan ide Technological Pedagogical Content Knowladge (TPACK) yang secara formal muncul pada tahun 2003 (Chai et al., 2013). TPACK dikembangkan dari ide Shulman (1986) tentang Pedagogical Content Knowladge (PCK) (Rosyid, 2016)yang dikembangkan untuk menjawab tantangan dunia pendidikan di era society 4.0 dengan menambahkan unsur technological knowladge sebagai komponen utama dan mendefinisikan interaksi antara technological knowladge, content knowladge, dan pedagogical knowladge. Tentu saja, ide Technological Pedagogical Content Knowladge (TPACK) masih sangat relevan dengan pendidikan saat ini mengingat Indonesia masih pada era society 4.0 dan baru akan menyongsong era society 5.0 yang di gagas Jepang dan diresmikan 21 Januari 2019 lalu, serta alasan rasional bahwa era society 5.0merupakan konsep masyarakat berbasis teknologi. Dengan demikian, guru harus memiliki kemampuan dalam mengintegrasikan ketiga pengetahuan tersebut dalam suatu pembelajaran dengan memperhatikan konteks yang sesuai materi ajar. Kemampuan ini menggambarkan kompetensi seorang guru.
Representasi kompetensi guru dituangkan dalam peraturan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Nomor 6565 Tahun 2020 dalam bentuk Model Kompetensi Guru. Model ini memiliki 3 kategori kompetensi guru yaitu pengetahuan profesional, praktik pembelajaran profesional, dan pengembangan profesi (Dirjen GTK Kemdikbud, 2020). Pengetahuan profesional adalah dasar dalam praktik pembelajaran. Pengetahuan profesional guru menentukan bagaimana ia menganalisis kurikulum yang bermuara pada praktik pembelajaran untuk membangun kompetensi siswanya. Oleh karena itu, pengembangan pengetahuan profesional guru yang mengarah pada kemampuan dalam mendesain, melaksanakan, merefleksi, mengasessmen, dan memberikan umpan balik dalam pembelajaran yang dapat membangun kompetensi dan karakter siswa merupakan hal yang penting. Hal ini berarti, penerapan teknologi dalam praktik pembelajaran akan kosong makna jika tidak memfasilitasi konstruksi kompetensi dan pembentukan karakter siswa. Analisis terhadap struktur dan alur pengetahuan merupakan salah satu kompetensi pengetahuan profesional guru (Dirjen GTK Kemdikbud, 2020) dan komponen penting yang mendasari praktik pembelajaran.
Analisis Struktur dan Alur Pengetahuan untuk Pembelajaran
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Nomor 6565 Tahun 2020 disebutkan bahwa struktur dan alur pengetahuan mendeskripsikan urutan konsep dari suatu disiplin ilmu yang terdiri dari menganalisis prasyarat untuk menguasai konsep, struktur konsep, dan keterkaitan suatu konsep dengan konsep lain (Dirjen GTK Kemdikbud, 2020). Analisis struktur dan alur pengetahuan dalam suatu pembelajaran pada akhirnya menghasilkan kajian tentang bagaimana seseorang siswa memahami pengetahuan dari suatu disiplin ilmu, prasyarat apa saja yang dibutuhkan untuk seseorang dalam memahami konsep tersebut, serta bagaimana seseorang mengaitkan konsep tersebut dengan konsep lainnya.
Pengetahuan seseorang adalah kecenderungannya untuk menghadapi situasi masalah dengan merefleksikan masalah dan solusinya dalam konteks sosial dan dengan mengkonstruksi dan merekonstruksi struktur-struktur pengetahuan yang dimilikinya serta mengorganisirnya ke dalam skema untuk digunakan dalam menghadapi situasi tertetu. Struktur pengetahuan seseorang direpresentasikan dalam bentuk skema. Pada dasarnya setiap orang memiliki skema yang diperoleh sebagai hasil dari pengalaman hidupnya. Inilah penyebab perbedaan pengetahuan siswa meskipun mereka mengikuti pembelajaran yang sama.
Pandangan konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi seseorang. Seseorang mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan struktur-struktur mental yang telah dimilikinya. Teori psikologi kognitif yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah teori Piaget. Esensi dari teori ini adalah abstraksi reflektif. Prof. Yaya Kusuma dalam webinar kerjasama UIN Raden Fatah Palembang dengan UIN Sultan Thaha Jambi menyatakan bahwa abstraksi reflektif dan individu yang konstruktir adalah tujuan literasi (Kusumah, 2021). Literasi juga merupakan salah satu sasaran dari proses pendidikan yang digaungkan oleh oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Bapak Nadiem Makarim.
Aktivitas seseorang dalam mengkonstruksi suatu konsep dapat diartikan sebagai aktivitas membangun dan menggunakan struktur mentalnya. Struktur ini merupakan objek-objek mental yang saling terkait yang membentuk pengetahuan seseorang. Inilah yang digunakan untuk memahami konteks situasi yang kita berikan dalam pembelajaran. Struktur tersebut dapat berkembang dalam pikiran seseorang. Sarana dimana struktur dapat berkembang disebut mekanisme mental. Mekanisme mental merupakan bentuk abstraksi reflektif dimana mekanisme tersebut memberikan informasi tentang bagaimana objek-objek mental tersebut saling terkait.
Teori Piaget tentang konstruksi mental seseorang memberikan pencerahan bagi berbagai aktivis pendidikan yang mendalami bidang kajian psikologi kognitif untuk mengembangkan teori baru tentang bagaimana seseorang mengkonstruksi suatu gagasan atau konsep. Misalnya Teori procept yang diperkenalkan oleh Gray & Tall (1994), Teori dualitas yang diperkenalkan oleh Sfard (1991), atau Teori APOS yang diperkenalka oleh Dubinsky (Arnon et al., 2014).
Pemahaman terhadap teori psikologi kognitif membawa kita untuk dapat menggambarkan suatu model hipotesis yang dapat mendeskripsikan bagaimana seseorang memahami ide atau gagasan tertentu atau dengan kata lain mendeskripsikan struktur dan mekanisme mental yang dibutuhkan seseorang untuk mengkonstruksi gagasan tertentu.
Model hipotesis dapat dikembangkan melalui analisis teoritis terhadap berbagai literatur terkait gagasan atau konsep yang akan dikonstruksi. Seperti analisis terhadap pemahaman para peneliti mengenai konsep tersebut, pengalaman pribadi guru dalam belajar dan mengajar konsep tersebut, hasil penelitian terdahulu tentang pemikiran siswa terkait konsep tersebut, perspektif sejarah tentang pengembangan konsep, dan atau analisis materi pada buku teks (Arnon et al., 2014). Selain itu, model hipotesis dapat juga dikembangkan dari evaluasi diagnostik yang mengidentifikasi kesulitan mempelajari konsep atau gagasan tersebut.
Model hipotesis disusun oleh dua komponen, yaitu struktur mental dan mekanisme mental. Struktur mental memandu tindakan seseorang dalam melakukan sesuatu, sedangkan mekanisme mental merupakan pemikiran yang mendasari tindakan tersebut. Dua komponen inilah yang menjadi fokus perhatian dalam mendesain dan mengembangkan suatu model hipotesis. Analisis terkait struktur mental mengarahkan kita untuk mengidentifikasi objek-objek apa saja yang saling terkait dengan objek mental tertentu. Sedangkan analisis terkait mekanisme mental mengarahkan kita untuk mengidentifikasi bagaimana objek-objek mental tersebut saling terkait. Struktur mental merupakan bagian dari pengetahuan untuk menjawab permasalahan yang dihadapi. Misalnya seseorang diberikan suatu permasalahan tentang pembagian bilangan bulat. Maka analisis objek-objek mental yang mungkin terkait dengan pembagian bilangan bulat adalah mengingat tentang bilangan yang dibagi, bilangan pembagi, hasil bagi, dan sisa. Sedangkan analisis proses berpikir yang mungkin dilakukan dalam menentukan hasil bagi dan sisa adalah dengan menggunakan berbagai strategi perhitungan (seperti melakukan penjumlahan atau pengurangan berulang) atau menggunakan fakta dasar (seperti 35:7 = 5 karena 5.7=35).
Memahami bagaimana seseorang belajar serta kemampuan menerapkannya dalam praktik pembelajaran merupakan persyaratan penting untuk menciptakan proses pembelajaran yang efektif. Mengkaji model hipotesis yang menggambarkan bagaimana seseorang mengkonstruksi gagasan atau konsep tertentu merupakan salah satu bentuk analisis struktur dan alur pengetahuan untuk pembelajaran, juga usaha dalam memahami bagaimana seseorang belajar. Sedangkan mendesain pembelajaran dan mengimplementasikannya membutuhkan kemampuan dalam menerapkan model hipotesis tersebut dalam praktik pembelajaran.
Pemilihan Konteks yang Memfasilitasi Kompetensi dan Karakter Siswa
Struktur dan alur pengetahuan yang dideskripsikan dalam bentuk model hipotesis dapat menjadi dasar teoritis untuk mengembangkan desain, implementasi, refleksi, asessmen, dan pemberian umpan balik dalam pembelajaran. Pengembangan desain dan implementasi pembelajaran, atau pengembangan bahan ajar dapat menggunakan berbagai konteks yang berbeda-beda sesuai situasi yang dipilih dan karakter yang ingin dibentuk untuk siswa melalui pembelajaran, serta teknologi yang sesuai dengan gagasan yang dikonstruksi. Dengan demikian, pembelajaran dapat mendukung terbentuknya kompetensi dan karakter siswa sesuai tantangan era society 5.0.
Pada dasarnya, siswa sudah memiliki pengalamannya sendiri. Hal ini berarti, konteks yang dipilih harus dapat menjadi jembatan dalam memperluas mengkonstruksi gagasan baru atau mengembangkan gagasan yang sudah ada. Van Den Heuvel-Panhuizen (2003) menyatakan bahwa konteks permasalahan harus mendukung siswa dalam melewati berbagai tingkat pemahaman yang berbeda yakni dari merancang solusi informal yang terhubung dengan konteks untuk mencapai beberapa level skema dan akhirnya memahami prinsip umum atau esensi gagasan dibalik masalah yang diberikan dan mampu melihat gagasan sebagai gambaran keseluruhan. Aktivitas pada tingkatan pemahaman yang lebih rendah dapat menjadi subjek penyelidikan pada tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Konteks permasalahan dipilih agar siswa mendapat gambaran konkrit tentang suatu gagasan atau konsep dan lebih fleksibel dalam mendukung konstruksi konsep yang lebih luas. Masalah yang didasarkan pada situasi yang cukup nyata atau realistis bagi siswa harus menjadi tantangan bagi mereka tetapi tidak terlalu rumit sehingga memungkinkan siswa melakukan analisis (Salgado & Trigueros, 2015).
Ada dua kondisi yang perlu diperhatikan guru saat mendesain dan mengimplementasikan pembelajaran yaitu cara berpikir siswa dan struktur atau alur pengetahuan pada model hipotesis yang sudah dibuat. Seseorang guru perlu memahami bahwa implementasi pembelajaran terkait proses membentuk cara berfikir siswa agar sesuai dengan model yang telah dihipotesiskan. Proses ini melibatkan upaya agar cara berfikir siswa sesuai dengan alur pengetahuan yang telah dihipotesiskan. Selain itu, proses ini juga terkait dengan evaluasi dan refleksi model hipotesis berdasarkan fakta implementasi pembelajaran. Oleh sebab itu, evaluasi dan refleksi terhadap proses pembelajaran memberikan guru informasi tentang kesesuaian model hipotesis dalam menggambarkan struktur dan alur berfikir siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Jika guru melihat jenis konstruksi siswa yang berbeda dari apa yang dihipotesiskan sebelumnya, maka sangat dimungkinkan untuk melakukan revisi terhadap model hipotesis guna mendapatkan model terakurat untuk digunakan pada pembelajaran konsep tersebut selanjutnya (Tarr & Maharaj, 2021), sehingga model hipotesis menjadi lebih sesuai dengan cara siswa mengkonstruksi konsep atau gagasan (Borji et al., 2018; Salgado & Trigueros, 2015).
Penutup
Memahami bagaimana seseorang belajar serta kemampuan menerapkannya dalam praktik pembelajaran merupakan persyaratan penting bagi guru untuk menciptakan proses pembelajaran yang efektif. Mengkaji model hipotesis yang menggambarkan bagaimana seseorang mengkonstruksi gagasan atau konsep tertentu merupakan salah satu bentuk analisis struktur dan alur pengetahuan untuk pembelajaran, juga usaha dalam memahami bagaimana seseorang belajar. Sedangkan mendesain pembelajaran dan mengimplementasikannya membutuhkan kemampuan untuk menerapkan model hipotesis tersebut dalam praktik pembelajaran. Fokus guru dalam pembelajaran harus tetap pada kompetensi dan karakter siswa dengan memilih konteks yang sesuai dengan struktur dan alur pengetahuan, serta mengintegrasikan teknologi didalamnya. Oleh karena itu, praktik pembelajaran dan penggunaan teknologi dalam prakter tersebut harus didasari dari analisis mendalam tentang struktur dan alur pengetahuan serta pemilihan konteks yang mampu memfasilitasi konstruksi kompetensi dan pembentukan karakter siswa.
Guru merupakan sosok kunci yang menentukan kualitas praktik pembelajaran. Pengembangan pengetahuan profesional guru diharapkan dapat menjadi langkah strategis dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang siap menghadapi tantangan era society 5.0. Dengan demikian, guru dapat membentuk siswa yang kretaif, kritis, memiliki kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama melalui pembentukan knowlwdge, skill, attitude dan valuesehingga terwujudnya siswa yang berkompetensi dan berkarakter.
Wallahu a’lam
Sebelum saya menutup orasi ilmiah ini, saya akan menyampaikan pantun untuk Alumni FITK:
Kakak bernyanyi berirama
Ibu memasak meminta lada
Bertahun-tahun sungguh lama
akhirnya hari ini yudisium juga
Terdengar bunyi begitu indah
Anak bernyanyi berirama
Kepada Alumni fakultas tarbiyah
Selamat mengabdi dan berkarya
Demikian, lebih dan kurang saya mohon dimaafkan.
Saya akhiri: wallahul muwafiq, fastabiqul khoirot, billahit taufik wal hidayah, wassalamu’alaikum wr. wb
Sumber Bacaan:
Arnon, I., Cottrill, J., Dubinsky, E., Oktaç, A., Fuentes, S. R., Trigueros, M., & Weller, K. (2014). Apos theory: A framework for research and curriculum development in mathematics education. In Apos Theory: A Framework for Research and Curriculum Development in Mathematics Education. https://doi.org/10.1007/9781461479666
Borji, V., Alamolhodaei, H., & Radmehr, F. (2018). Application of the APOS-ACE theory to improve students’ graphical understanding of derivative. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education, 14(7), 2947–2967. https://doi.org/10.29333/ejmste/91451
Chai, C. S., Koh, J. H. L., & Tsai, C. C. (2013). A review of technological pedagogical content knowledge. Educational Technology and Society, 16(2), 31–51.
Dirjen GTK Kemdikbud. (2020). Peraturan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan No. 6565/B/GT/2020 tentang Model Kompetensi dalam Pengembangan Profesi Guru. 021. https://inspirasifoundation.org/wp-content/uploads/2021/05/Salinan-Perdirjen-model-kompetensi_final.pdf
Gray, E. M., & Tall, D. O. (1994). Duality, Ambiguity, and Flexibility: A “Proceptual” View of Simple Arithmetic. Journal for Research in Mathematics Education, 25(2), 116. https://doi.org/10.2307/749505
Kusumah, Y. S. (2021). MENGAKSELERASI LITERASI MATEMATIS SISWA MELALUI BLENDID LEARNING DI ERA KENORMALAN BARU (pp. 1–9).
Rosyid, A. (2016). Technological Pedagogical Content Knowledge: Sebuah Kerangka Pengetahuan Bagi Guru Indonesia Di Era MEA. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Pendidikan Inovasi Pembelajaran Berbasis Karakter Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, 446–454.
Salgado, H., & Trigueros, M. (2015). Teaching eigenvalues and eigenvectors using models and APOS Theory. Journal of Mathematical Behavior, 39, 100–120. https://doi.org/10.1016/j.jmathb.2015.06.005
Sfard, A. (1991). On the dual nature of mathematical conceptions: Reflections on processes and objects as different sides of the same coin. In Educational Studies in Mathematics (Vol. 22, Issue 1). https://doi.org/10.1007/BF00302715
Tarr, H. L., & Maharaj, A. (2021). A preliminary genetic decomposition for conceptual understanding of the indefinite integral. Journal of Mathematical Behavior, 63(May), 100891. https://doi.org/10.1016/j.jmathb.2021.100891
Van Den Heuvel-Panhuizen, M. (2003). The didactical use of models in realistic mathematics education: An example from a longitudinal trajectory on percentage. Educational Studies in Mathematics, 54(1), 9–35. https://doi.org/10.1023/B:EDUC.0000005212.03219.dc